PENDIDIKAN POLA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DAN PEMBERDAYAAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PEMBANGUNAN SESUAI TUNTUTAN
Oleh : Mangatas Tampubolon*)
Abstrak: Isu pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan masyarakat desa pada era globalisasi dan transparansi semakin banyak dibicarakan dalam forum-forum diskusi yang dilakukan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, nasional dan international, dan melalui artikel-artikel dalam media massa.Kesimpulannya mempersoalkan: sikap apatis masyarakat terhadap proyek pembangunan, partisipasi masyarakat yang rendah dalam pembangunan, penolakan masyarakat terhadap beberapa proyek pembangunan, ketidakberdayaan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan serta pemecahan masalahnya, tingkat adopsi masyarakat yang rendah terhadap inovasi, dan masyarakat cenderung menggantungkan hidup terhadap bantuan pemerintah, serta kritik-kritik lainnya yang umumnya meragukan bahwa masyarakat memiliki potensi untuk dilibatkan sebagai pelaksana pembangunan. Meskipun kritik-kritik di atas ada benarnya, tetapi dengan hanya menyalahkan masyarakat tanpa mencari faktor-faktor penyebabnya maka permasalahannya tidak dapat dipecahkan. Yang lebih penting adalah mencari solusi yang sifatnya komprehensif. Faktor utama penyebab permasalahan itu adalah rendahnya sumberdaya manusia (SDM). Karena itu, upaya-upaya pemberdayaan masyarakat melalui aktualisasi pendidikan perlu mendapat perhatian. Pendidikan memegang peranan kunci dalam mencetak SDM yang berkualitas.
Kata kunci: aktualisasi pendidikan, kualitas SDM, pemberdayaan masyarakat, partisipasi, pembangunan masyarakat, otonomi*) Penulis adalah Dosen FIP-UNIMED Medan.
________________________________________
1. Pendahuluan
Pendidikan adalah permasalahan besar yang menyangkut nasib dan masa depan bangsa dan negara. Karena itu, tuntutan reformasi politik, ekonomi, sosial, hak azasi manusia, sistem pemerintahan dan agraria tidak akan membuahkan hasil yang baik tanpa reformasi sistem pendidikan. Krisis multidimensi yang melanda negara dan bangsa Indonesia dewasa ini, tidak hanya disebabkan oleh krisis ekonomi, sosial dan politik, melainkan juga oleh krisis pada sistem pendidikan nasional. Terpuruknya perekonomian negara ditambah semakin merajalelanya korupsi, kolusi, dan nepotisme secara langsung membuat masyarakat menjadi tidak berdaya. Masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin meningkat, pengangguran nyata sudah mencapai 40 juta, keluarga jalanan dan anak jalanan menjadi masalah sosial yang menonjol di perkotaan, anak-anak putus sekolah pada semua jenjang pendidikan makin bertambah, masalah kriminalitas yang makin meningkat, ditambah dengan masalah sosial lainnya yang membuat masyarakat tidak berdaya memenuhi kebutuhan pokoknya. Upaya pemerintah memberikan bantuan darurat dalam bentuk materi baik melalui program "jaring pengaman sosial" maupun melalui proyek "Padat Karya" ternyata belum mampu memberdayakan masyarakat miskin. Tentu saja masyarakat lapisan bawah sangat memerlukan bantuan semacam ini. Akan tetapi, fakta-fakta di lapangan menunjukkan bahwa upaya tersebut masih sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Bantuan yang seharusnya menjadi porsi dan hak masyarakat lapisan bawah justru sebaliknya dinikmati mereka yang tidak berhak.
Pola pemberdayaan masyarakat yang dibutuhkan bukan kegiatan yang sifatnya top-down intervention yang tidak menjunjung tinggi aspirasi dan potensi masyarakat untuk melakukan kegiatan swadaya. Akan tetapi yang paling dibutuhkan masyarakat lapisan bawah terutama yang tinggal di desa adalah pola pemberdayaan yang sifatnya bottom-up intervention yang menghargai dan mengakui bahwa masyarakat lapisan bawah memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhannya, memecahkan permasalahannya, serta mampu melakukan usaha-usaha produktif dengan prinsip swadaya dan kebersamaan.
Apabila kegiatan pemberdayaan masyarakat lapisan bawah belum berhasil meningkatkan pendapatan dan membuka lapangan kerja baru seperti yang diharapkan, maka yang paling penting dikaji adalah menemukan apa dan di mana akar permasalahannya. Pengetahuan tentang akar permasalahan ini, membantu untuk merumuskan suatu strategi pemecahan masalah yang lebih tepat dan efektif. Merumuskan suatu pola pemberdayaan masyarakat lapisan bawah yang tergolong miskin adalah pekerjaan rumit. Rumit, karena karakteristik yang mereka miliki berbeda. Dan setiap perbedaan menuntut pola pemberdayaan yang berbeda. Semua kekuatan, kelemahan, dan permasalahan yang ada perlu diidentifikasi dengan cermat, terutama yang berhubungan dengan pola pikir mereka yang sangat lokalit, terbelakang, statis tradisional, sulit berubah, lambat mengadopsi inovasi, serta tidak berdaya untuk hidup mandiri. Masalah timbul akibat rendahnya tingkat pendidikan. Keadaan seperti ini terjadi karena rendahnya perhatian pemerintah terhadap pentingnya peranan pendidikan dalam pembangunan bangsa dan negara. Core idea dari implementasi otonomi daerah adalah tumbuhnya partisipasi aktif masyarakat untuk membangun dirinya sendiri, sedangkan peran pemerintah hanya sebagai fasilitator dan mitra kerja masyarakat. Inti permasalahannya adalah apakah masyarakat sudah siap melaksanakan pembangunan sesuai tuntutan otonomi daerah? Kalau belum siap usaha-usaha apa yang perlu dilakukan untuk memberdayakan mereka sebagai insan pembangunan? Dan bagaimana peranan pendidikan formal dan nonformal untuk melahirkan SDM yang berkualitas yang siap melaksanakan pembangunan? Memaknai topik tulisan dan permasalahan di atas, masalah yang menjadi bahan kajian difokuskan pada urgensi pemberdayaan masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik, aktualisasi pendidikan yang ditujukan untuk mengubah perilaku masyarakat, yaitu pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Dan mengkaji teknik atau pola partisipasi masyarakat yang applicable di dalam pelaksanaan otonomi daerah terutama yang menyangkut hak, kewajiban, dan tanggung jawab warga masyarakat.
2. Kajian Literatur2.1. Tujuan, Permasalahan dan Kualitas SDM Indonesia.
Pendidikan adalah masalah semua orang, bahkan secara extrim pendidikan dapat disimpulkan sebagai suatu proses memanusiakan manusia.
Membangun masyarakat dari wacana berfikir yang statis tradisional menjadi masyarakat dengan wacana berfikir kosmopolit yang dinamis rasional. Bahkan keseluruhan proses kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui jalur pembangunan masyarakat desa dan kota (rural and urban community development). Tujuannya untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Bentuknya bervariasi, meliputi pendidikan formal dan nonformal, penyuluhan pembangunan, komunikasi pembangunan, pendidikan kesejahteraan keluarga, pendidikan tentang nilai-nilai demokrasi, pendidikan keterampilan, pelatihan-pelatihan, dan lain-lain. Margono Slamet (1998:1) mengemukakan tujuan pendidikan sebagai suatu proses untuk mengubah perilaku manusia. Domain yang diharapkan berubah meliputi: pertama, domain perilaku pengetahuan (knowing behavior), kedua, domain perilaku sikap (feeling behavior) dan ketiga, domain perilaku keterampilan (doing behavior). Lebih lanjut Dahama dan Bhatnagar ( 1980:3), mengemukakan tujuan pendidikan itu ..............as the process of bringing desirable change into behavioral change of human being. Menurutnya komponen-komponen perilaku yang harus berubah meliputi: Knowledge and ideas, values and attitudes, norms and skills, understanding and translation, ditambah dengan goals and confidence, seperti terlihat di dalam bagan berikut.
Bagan 1. Behavioral components.
Kata kunci dari tujuan pendidikan ialah perubahan perilaku. Unsur-unsur perilaku ini selalu merujuk kepada apa yang telah diketahui atau dipahami oleh peserta didik (Knowledge), apa yang dapat mereka lakukan (Skills), apa yang mereka rasakan/pikirkan (Attitudes) dan apa yang mereka kerjakan (Action).
Apabila pengertian perilaku ini lebih disederhanakan maka, perilaku dapat dibagi menjadi 2 unsur yang saling berhubungan satu sama lain yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan Intelektual (KI) contohnya masyarakat Barat yang rasional dan individualistis, di mana mereka cenderung mendengarkan apa "kata kepala", sedangkan Kecerdasan Emosional (KE) contohnya masyarakat Timur yang masih terikat kepada tradisi yang cenderung mendengarkan apa "Kata Hati". Hasil penelitian dalam bidang psikologi menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan seseorang dalam berprestasi ditentukan oleh hanya 20 persen dari KI-nya sedangkan 80 persen oleh faktor lain, terutama KE-nya.
Apabila lembaga pendidikan tidak dikelola oleh para profesional maka, kualitas SDM Indonesia di masa mendatang - terutama dalam era globalisasi - akan menghadapi tantangan yang sangat berat. Akan tetapi jika dikelola secara profesional, maka masalah kualitas SDM, akan dapat teratasi secara bertahap.
Masyarakat akan memberikan public recognition kepada sektor ini, jika hasil kinerja para profesional itu dapat diterima dan diakui semua pihak sesuai dengan motto Education for all.
Itulah sebabnya penguatan posisi tawar dari Departemen Pendidikan Nasional dengan pihak eksekutif dan legislatif perlu dijadikan agenda penting terutama untuk menaikkan anggaran sektor Pendidikan. Seperti diketahui anggaran sektor pendidikan dalam APBN 2001 relatif sangat kecil yakni berkisar 6,5 persen.
Artinya, para pembuat kebijakan baik eksekutif maupun legislatif belum mampu memahami kepentingan dunia pendidikan sebagai human investment bagi bangsa dan negara dimasa mendatang. Untuk ini, perlu reformasi sistem pendidikan agar lembaga pendidikan mampu melahirkan SDM yang berkualitas, profesional, dan memiliki daya saing yang tinggi baik pada level nasional maupun global.
Ketetapan-ketetapan MPR 1999 yang berhubungan dengan pendidikan merupakan permulaan reformasi pendidikan di Indonesia, dimana antara lain ditetapkan:1. Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti.
2. Meningkatkan kemampuan akademik dan profesional serta meningkatkan jaminan kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga tenaga kependidikan mampu berfungsi secara optimal terutama dalam peningkatan pendidikan watak dan budi pekerti agar dapat mengembalikan wibawa lembaga dan tenaga kependidikan.
3. Melakukan pembaharuan sistem pendidikan termasuk pembaharuan kurikulum untuk melayani keberagaman peserta didik, penyusunan kurikulum yang berlaku nasional dan lokal sesuai dengan kepentingan setempat, serta diversifikasi jenis pendidikan secara profesional ( Ketetapan-ketetapan MPR 1999, hal. 80-81 ).
Pada ketiga butir ketetapan tersebut tersirat: pertama, peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia; kedua, pemberdayaan lembaga-lembaga pendidikan dengan meningkatkan anggaran pendidikan, termasuk kesejahteraan guru dan; ketiga, penyesuaian program-program pendidikan sesuai dengan kebutuhan lokal dan nasional. Namun demikian, ketetapan-ketetapan MPR di atas masih perlu ditunggu realisasinya, bahkan dengan anggaran pendidikan yang hanya 6,5 persen dalam APBN 2001 merupakan suatu fakta dan sekaligus menjadi masalah pokok yang masih perlu dipertanyakan lebih lanjut.
Secara faktual tidak sedikit agenda-agenda reformasi yang tujuannya konstruktif berubah menjadi tindakan-tindakan arogan yang sifatnya destruktif. Masalah ini terjadi karena masyarakat Indonesia - para elit politik termasuk publik - disatu pihak belum memiliki suatu Common Understanding tentang visi dan misi reformasi, dan di lain pihak belum dilaksanakan kegiatan "sosialisasi" tentang makna dan tujuan reformasi itu sendiri. Pluralisme sosial, ekonomi, dan politik sesuai dengan prinsip demokrasi yang seharusnya diterima sebagai suatu kekayaan yang dapat membangun suatu rasa persatuan dan kesatuan untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat di dalam pembangunan, kenyataannya justru sebaliknya melahirkan Social Conflics di masyarakat - contoh kasus Kalimantan Tengah dan daerah lainnya di Indonesia.
Tentu saja masalah ini tidak akan terjadi, apabila pemerintah memberikan prioritas pada sektor pendidikan publik yang berkelanjutan tentang "nilai-nilai toleransi, pragmatisme, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan hak-hak azasi manusia, kerja sama dan mufakat ".
Apabila nilai-nilai tersebut di atas telah diadopsi, maka diharapkan rasa kesadaran masyarakat akan pentingnya a spirit of cooperation tumbuh dan berkembang. Semangat kerja sama, pada gilirannya merangsang tumbuhnya rasa memiliki, partisipasi, dan tanggung jawab sosial untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan mereka.
Dalam hubungan ini, patut diperhatikan bahwa pendidikan memegang peranan kunci dalam penyediaan SDM yang berkualitas, bahkan sangat menentukan berhasil atau gagalnya pembangunan, sehingga kita dapat mengikuti suatu wacana yang menegaskan: Development stands or falls with the improvement of human and institutional competence (Hill, 1962:4). Secara lebih arif dapat disimpulkan bahwa pendidikan bermutu menghasilkan SDM bermutu dan merupakan kata kunci dari keberhasilan pembangunan. Pada saat ini, Indonesia menghadapi masalah yang sifatnya multidimensi yang menuntut pemecahan segera. Masyarakat yang mutu SDM-nya rendah, cenderung tidak akan mampu memecahkan masalahnya. Berbeda dengan masyarakat yang mutu SDM-nya tinggi, mereka memiliki potensi untuk memecahkan masalahnya, serta mampu merumuskan pola pemberdayaan (empowerment) masyarakat untuk berpartisipasi aktif di dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup. D.P.Tampubolon ( 2001 : 7-11 ), mengemukakan bahwa dengan perkembangan masyarakat industri dan pascaindustri Indonesia akan sekaligus berada di bawah pengaruh empat proses perkembangan sosial-ekonomi yang mendasar pada abad ke-21, bahkan sesungguhnya sudah mulai dalam tiga dekade terakhir abad ke-20. Keempat proses perkembangan sosial-ekonomi yang mendasar, perlu dipahami karena dampaknya dapat mempengaruhi seluruh tata kehidupan bangsa Indonesia terutama pada abad ke 21 ini. Keempat proses itu meliputi: (1) globalisasi; (2) industrialisasi; (3) asianisasi; dan (4) sistem informasi canggih, serta akibat utama yang ditimbulkan dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
No | Proses | Akibat Utama |
1. | Globalisasi | Keterbukaan |
Demokratisasi | ||
Persaingan dalam konteks kerja sama | ||
2. | Industrialisasi | Rasionalitas |
Dominan Kecerdasan Intelektual ( KI ) | ||
Sekularisme | ||
3. | Asianisasi | Percaya diri Asia |
Pengaruh budaya Asia ke Barat dan bagian lain dunia | ||
4. | Sistem Informasi Canggih | Kesaratderasan informasi |
Perkembangan KI dan KE | ||
Simplikasi,efisiensi,dan efektifitas dalam komunikasi | ||
Bahasa menjadi kebutuhan pokok | ||
Kemandirian memperoleh pengetahuan | ||
Perubahan sifat lembaga-lembaga pendidikan,khususnya Perguruan Tinggi |
Berkaitan dengan keempat proses tersebut, tantangan utama bagi kita ialah bagaimana Indonesia mempersiapkan diri agar keempat proses itu bermanfaat semaksimal mungkin bagi seluruh rakyat Indonesia dalam meningkatkan mutu kehidupan. Sebab suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, arus globalisasi mengharuskan kita terlibat dalam proses saling berhubungan yang sifatnya mendunia, baik antarindividu, bangsa, negara, organisasi kemasyarakatan, terutama dunia usaha. Dan di sinilah aktualisasi pendidikan harus memperoleh porsi dan perhatian yang tinggi agar mampu melahirkan SDM yang berkualitas. Karena dalam era globalisasi yang bercirikan persaingan, kemenangan akan ditentukan oleh mutu sumber daya manusia.
Human investment melalui pendidikan bermutu, akan melahirkan SDM bermutu yang pada akhirnya membawa Indonesia dapat melakukan persaingan dalam konteks kerjasama dengan bangsa-bangsa lain.
Bukti menunjukkan bahwa era krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997, ternyata Malaysia, Singapura, dan Thailand jauh lebih cepat keluar dari krisis tersebut, sedangkan Indonesia hingga saat ini masih menghadapi krisis yang makin terpuruk, dan malah ditambah dengan krisis-krisis sosial, politik, disintegrasi, konflik sosial horisontal, yang sifatnya multidimensi.
Hal ini terjadi karena SDM di negara-negara tersebut jauh lebih berkualitas dibandingkan dengan Indonesia. Kita masih ingat bahwa pada tahun 1960 yaitu permulaan kemerdekaan Malaysia, guru-guru MIPA dari Indonesia banyak mengajar di Malaysia, tetapi saat ini telah banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di Perguruan Tinggi Malaysia pada tingkat sarjana, bahkan Pascasarjana. Ini suatu bukti bahwa pemerintah Malaysia memberikan perhatian yang serius terhadap pendidikan sebagai Human investment serta menyediakan anggaran yang cukup untuk melaksanakan pendidikan yang bermutu termasuk perhatian terhadap gaji dan kesejahtaraan tenaga kependidikannya. Bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah telah memberikan perhatian yang serius terhadap pembangunan sektor pendidikkan ini?
Dan sejauh mana pemerintah telah menunjukkan kemauan politiknya untuk menjamin kesejahteraan tenaga kependidikan sehingga mereka dapat berkonsentrasi untuk memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didiknya?
Secara jujur harus diakui bahwa pada permulaan pemerintahan orde baru, pemerintah telah banyak membangun gedung-gedung sekolah mulai dari Sekolah Dasar, SLTP, SLTA, sampai Perguruan Tinggi. Akan tetapi sasarannya lebih menekankan pembangunan material, belum mengacu kepada pembangunan sektor pendidikan yang berorientasi kepada mutu lulusan, apalagi peningkatan kesejahteraanm tenaga kependidikan sebagai unsur pendidikan yang perlu memperoleh perhatian. Hal ini dimungkinkan karena pada waktu itu pemerintah memperoleh dana yang cukup besar dari hasil kenaikan harga minyak.
Semua departemen berlomba membangun gedung-gedung yang mewah baik di pusat, Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, sampai Kecamatan. Dan malah ada yang mubazir, seperti gudang Dolog pada tingkat kecamatan yang tidak pernah digunakan karena di samping lokasinya tidak tepat juga karena tidak merespon kebutuhan masyarakat. Banyak gedung SD Inpres tidak mempunyai murid karena dibangun di lokasi yang sudah ada bangunan SD-nya. Orang-orang daerah sangat bangga melihat Jakarta yang penuh dengan gedung-gedung pencakar langit serta pesatnya pembangunan jembatan layang. Akan tetapi mereka bertanya mengapa di daerah yang banyak sungainya, jembatan tidak dibangun, sementara di Jakarta yang tidak ada sungainya malah ada jembatan layangnya. Inilah beberapa kasus-kasus pembangunan, yang menjadikan pembangunan material sebagai prioritas sementara pembangunan SDM-nya terlupakan.
Bagaimana pentingnya pembangunan SDM ini, Edwin Markam (dalam Lunardi 1984:II) mengucapkan secara tepat di dalam sajaknya:" MAN MAKING "
WE ARE ALL BLIND UNLESS WE SEE
THAT IN THE HUMAN PLAN
NOTHING IS WORTH THE MAKING
IF IT DOES NOT MAKE THE MAN
WHY BUILD THESE CITIES GLORIUS
IF MAN UNBUILDED GOES?
IN VAIN WE BUILD THE WORK UNLESS
THE BUILDER ALSO GROWS
Sajak di atas menekankan bahwa kita semua buta kecuali kita dapat melihat, bahwa dalam rencana manusia, tiada yang berharga dibangun, apabila manusia tidak dibangun. Segala harga pembangunan akan sia-sia, kecuali SDM pembangun dapat tumbuh dan berkembang. Generasi muda harus diberdayakan melalui pendidikan bermutu. Pinjaman luar negeri lebih tepat dialokasikan untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi generasi muda daripada membangun gedung-gedung dan proyek-proyek raksasa yang cenderung gagal sehingga rakyat tidak merasakan manfaatnya.
2.2. Pembangunan Masyarakat
2.2.1. Tujuan Pembangunan Masyarakat
Konsep Community Development telah banyak dirumuskan di dalam berbagai definisi. Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikannya: " as the process by which the efforts of the people themselves are united with those of governmental authorities to improve the economic, social and cultural conditions of communities, to integrade these communities into the life of the nations, and to enable them to contribute fully to national progress". (Luz. A. Einsiedel 1968:7).
Definisi di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat, merupakan suatu "proses" dimana usaha-usaha atau potensi-potensi yang dimiliki masyarakat diintegrasikan dengan sumber daya yang dimiliki pemerintah, untuk memperbaiki kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan, dan mengintegrasikan masyarakat di dalam konteks kehidupan berbangsa, serta memberdayakan mereka agar mampu memberikan kontribusi secara penuh untuk mencapai kemajuan pada level nasional.
US International Cooperation Administration mendeskripsikan Community Development itu sebagai :
" a process of social action in which the people of a community organized themselves for planning action; define their common and individual needs and problems; make group and individual plans with a maximum of reliance upon community resources; and supplement the resources when necessary with service and material from government and non-government agencies outside the community ". ( The Community Development Guidlines of the International Cooperation Administration, Community Development Review, December,1996,p.3).
Definisi di atas lebih menekankan bahwa konsep pembangunan masyarakat, merupakan suatu proses "aksi sosial" dimana masyarakat mengorganiser diri mereka dalam merencanakan yang akan dikerjakan; merumuskan masalah dan kebutuhan-kebutuhan baik yang sifatnya untuk kepentingan individu maupun yang sifatnya untuk kepentingan bersama; membuat rencana-rencana tersebut didasarkan atas kepercayaan yang tinggi terhadap sumber-sumber yang dimiliki masyarakat, dan bilamana perlu dapat melengkapi dengan bantuan teknis dan material dari pemerintah dan badan-badan nonpemerintah di luar masyarakat.
Melengkapi kedua definisi di atas, Arthur Dunham seorang pakar Community Development merumuskan definisi Community Development itu sebagai berikut.
"organized efforts to improve the conditions of community life, and the capacity for community integration and self-direction. Community Development seeks to work primarily through the enlistment and organization of self-help and cooprative efforts on the part of the residents of the community, but usually with technical assistance from government or voluntary organization.(Arthur Dunham 1958: 3).
Rumusan di atas menekankan bahwa pembangunan masyarakat merupakan usaha-usaha yang terorganisasi yang bertujuan untuk memperbaiki kondisi kehidupan masyarakat, dan memberdayakan masyarakat untuk mampu bersatu dan mengarahkan diri sendiri. Pembangunan masyarakat bekerja terutama melalui peningkatan dari organisasi-organisasi swadaya dan usaha-usaha bersama dari individu-individu di dalam masyarakat, akan tetapi biasanya dengan bantuan teknis baik dari pemerintah maupun organisasi-organisasi sukarela.
Arthur Dunham membedakan "Community Development" dengan "Community Organization"community development is concerned with economic life, roads, buildings, and education,as well as health and welfare, in the narrower sense. On the other hand, community welfare organization is concerned with adjustment of social welfare needs and resources in cities, states, and nations as in rural villages. Jadi community development lebih berkonotasi dengan pembangunan masyarakat desa sedangkan community organization idenstik dengan pembangunan masyarakat kota.
Lebih lanjut Dunham mengemukakan 4 unsur-unsur Community development sebagai berikut.
(1) a plan program with a focus on the total needs of the village community;
(2) technical assistance;
(3) integrating various specialities for the help of the community; and
(4) a major emphasis upon selp-help and participation by the residents of the community.
Dari definisi CD di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
1. CD merupakan suatu proses pembangunan yang berkesinambungan. Artinya kegiatan itu dilaksanakan secara terorganiser dan dilaksanakan tahap demi tahap dimulai dari tahap permulaan sampai pada tahap kegiatan tindak lanjut dan evaluasi - follow-up activity and evaluation.
2. CD bertujuan memperbaiki - to improve - kondisi ekonomi, sosial, dan kebudayaan masyarakat untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik.
3. CD memfokuskan kegiatannya melalui pemberdayaan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka, sehingga prinsip to help the community to help themselve dapat menjadi kenyataan.
4. CD memberikan penekanan pada prinsip kemandirian. Artinya partisipasi aktif dalam bentuk aksi bersama - group action - di dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dilakukan berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki masyarakat.
2.2.2. Metode Kerja Pembangunan Masyarakat Desa
CD dengan segala kegiatannya dalam pembangunan sebaiknya menghindari metode kerja "doing for the community", tetapi mengadopsi metode kerja "doing with the community". Metode kerja doing for, akan menjadikan masyarakat menjadi pasif, kurang kreatif dan tidak berdaya, bahkan mendidik masyarakat untuk bergantung pada bantuan pemerintah atau organisasi-organisasi sukarela pemberi bantuan. Sebaliknya, metode kerja doing with, merangsang masyarakat menjadi aktif dan dinamis serta mampu mengidentifikasi mana kebutuhan yang sifatnya - real needs, felt needs dan expected need . Metode kerja doing with, sangat sesuai dengan gagasan besar KI Hajar Dewantara tentang kepemimpinan pendidikan di Indonesia - ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani - yang berfokus akan perlunya kemandirian yang partisipatif di dalam proses pembangunan.
2.3. Pemberdayaan Masyarakat dan Permasalahannya
2.3.1. Tujuan Pemberdayaan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan potensi masyarakat agar mampu meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik bagi seluruh warga masyarakat melalui kegiatan-kegiatan swadaya. Untuk mencapai tujuan ini, faktor peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan formal dan nonformal perlu mendapat prioritas. Memberdayakan masyarakat bertujuan "mendidik masyarakat agar mampu mendidik diri mereka sendiri" atau "membantu masyarakat agar mampu membantu diri merekka sendiri". Tujuan yang akan dicapai melalui usaha pemberdayaan masyarakat, adalah masyarakat yang mandiri, berswadaya, mampu mengadopsi inovasi, dan memiliki pola pikir yang kosmopolitan.
United Nations (1956: 83-92), mengemukakan proses-proses pemberdayaan masyarakat adalah sebagai berikut.
(1) Getting to know the local community
Mengetahui karakteristik masyarakat setempat (lokal) yang akan diberdayakan, termasuk perbedaan karakteristik yang membedakan masyarakat desa yang satu dengan yang lainnya. Mengetahui artinya untuk memberdayakan masyarakat diperlukan hubungan timbal balik antara petugas dengan masyarakat.
(2) Gathering knowledge about the local community
Mengumpulkan pengetahuan yang menyangkut informasi mengenai masyarakat setempat. Pengetahuan tersebut merupakan informasi faktual tentang distribusi penduduk menurut umur, sex, pekerjaan, tingkat pendidikan, status sosial ekonomi, termasuk pengetahuan tentang nilai, sikap, ritual dan custom, jenis pengelompokan, serta faktor kepemimpinan baik formal maupun informal.
(3) Identifying the local leaders
Segala usaha pemberdayaan masyarakat akan sia-sia apabila tidak memperoleh dukungan dari pimpinan/tokoh-tokoh masyarakat setempat. Untuk itu, faktor "the local leaders" harus selau diperhitungkan karena mereka mempunyai pengaruh yang kuat di dalam masyarakat.
(4) Stimulating the community to realize that it has problems
Di dalam masyarakat yang terikat terhadap adat kebiasaan, sadar atau tidak sadar mereka tidak merasakan bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan. Karena itu, masyarakat perlu pendekatan persuasif agar mereka sadar bahwa mereka punya masalah yang perlu dipecahkan, dan kebutuhan yang perlu dipenuhi.
(5) Helping people to discuss their problem
Memberdayakan masyarakat bermakna merangsang masyarakat untuk mendikusikan masalahnya serta merumuskan pemecahannya dalam suasana kebersamaan.
(6) Helping people to identify their most pressing problems
Masyarakat perlu diberdayakan agar mampu mengidentifikasi permasalahan yang paling menekan. Dan masalah yang paling menekan inilah yang harus diutamakan pemecahannya.
(7) Fostering self-confidence
Tujuan utama pemberdayaan masyarakat adalah membangun rasa percaya diri masyarakat. Rasa percaya diri merupakan modal utama masyarakat untuk berswadaya.
(8) Deciding on a program action
Masyarakat perlu diberdayakan untuk menetapkan suatu program yang akan dilakukan. Program action tersebut perlu ditetapkan menurut skala prioritas, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Tentunya program dengan skala prioritas tinggilah yang perlu didahulukan pelaksanaannya.
(9) Recognition of strngths and resources
Memberdayakan masyarakat berarti membuat masyarakat tahu dan mengerti bahwa mereka memiliki kekuatan-kekuatan dan sumber-sumber yang dapat dimobilisasi untuk memecahkan permasalahn dan memenuhi kebutuhannya.
(10) Helping people to continue to work on solving their problems
Pemberdayaan masyarakat adalah suatu kegiatan yang berkesinambungan. Karena itu, masyarakat perlu diberdayakan agar mampu bekerja memecahkan masalahnya secara kontinyu.
(11) Increasing people!s ability for self-help
Salah satu tujuan pemberdayaan masyarakat adalan tumbuhnya kemandirian masyrakat. Masyarakat yang mandiri adalah masyarakat yang sudah mampu menolong diri sendiri. Untuk itu, perlu selalu ditingkatkan kemampuan masyarakat untuk berswadaya.
2.3.2. Permasalahan Pemberdayaan Masyarakat
Memberdayakan masyarakat dengan hanya memberikan bantuan uang, bukanlah segalanya. Banyak proyek-proyek Inpres yang tekanannya memberikan bantuan material kepada masyarakat desa justru mematikan swadaya masyarakat, bahkan sebaliknya menjadikan masyarakat menggantungkan diri kepada pemberi bantuan. Pola pemberdayaan dengan hanya memberikan bantuan uang atau bantuan proyek kepada masyarakat desa tidak akan merangsang peran serta masyarakat untuk terlibat di dalam pembangunan.
Dalam kasus tertentu, di dalam konsep pembangunan masyarakat, bantuan material memang diperlukan, akan tetapi yang lebih penting adalah pengembangan swadaya - self help - masyarakat untuk membangun diri sendiri.
Ciri khas dari suatu kegiatan swadaya adalah adanya sumbangan dalam jumlah besar yang diambil dari sumberdaya yang dimiliki oleh masyarakat baik yang dimiliki individu maupun kelompok di dalam masyarakat.
2.2.3. Aktualisasi Pendidikan dan Pemberdayaan Masyarakat
Membangun masyarakat dari wacana berpikir yang statis tradisional menjadi dinamis rasional adalah aktivitas pendidikan. Bahkan keseluruhan proses kegiatan pembangunan masyarakat desa/kota -rural and urban community development- itu memerlukan "community education". Bentuknya bervariasi, mulai pendidikan formal dan nonformal, penyuluhan pembangunan, komunikasi pembangunan, pendidikan kesejahteraan keluarga, demokrasi, pendidikan keterampilan, dan lain-lain. Pada umumnya segala kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat dikatagorikan sebagai suatu usaha pendidikan nonformal yang bertujuan untuk menciptakan perbaikan "kualitas hidup" masyarakat.
Kata kunci dari tujuan pendidikan adalah adanya perubahan perilaku - behavior -. Komponen-komponen perilaku ini selalu merujuk kepada apa yang telah diketahui atau dipahami oleh warga belajar/peserta didik (knowledge), apa yang dapat mereka lakukan (skills), apa yang mereka pikirkan (attitudes) dan secara nyata apa yang mereka kerjakan (action).
Secara sederhana, perilaku terdiri dari 3 domain atau kawasan yaitu domain perilaku pengetahuan - knowing behavior -, domain perilaku sikap -feeling behavior- dan domain perilaku keterampilan -doing behavior-. Apabila lebih disederhanakan maka, perilaku terdiri dari 2 unsur yaitu kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Kecerdasan Intelektual - KI - ( masyarakat Barat yang rasional dan indivudualistis) cenderung mendengarkan "Kata Kepala" sedangkan Kecerdasan Emosional - KE -, termasuk budi pekerti (masyarakat Timur yang masih terikat pada tradisi) mendengarkan "Kata Hati". Hasil penelitian dalam bidang psikologi menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan seseorang dalam berprestasi ditentukan oleh hanya 20 persen dari KI-nya sedangkan 80 persen oleh faktor lain, terutama KE-nya.
Upaya pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk membuat masyarakat menjadi mandiri, dalam arti memiliki potensi untuk mampu memecahkan masalah-masalah yang mereka hadapi, dan sanggup memenuhi kebutuhannya dengan tidak menggantungkan hidup mereka pada bantuan pihak luar, baik pemerintah maupun organisasi-organisasi non-pemerintah.
Bantuan technical assistance jelas mereka perlukan, akan tetapi bantuan tersebut harus mampu membangkitkan prakarsa masyarakat untuk membangun bukan sebaliknya justru mematikan prakarsa. Dalam hubungan ini, kita dituntut menghargai hak-hak masyarakat yaitu Right of Sef-Determination dan Right for Equal Opportunity. Hak untuk menentukan sendiri untuk memilih apa yang terbaik bagi masyarakat, serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama untuk berkembang sesuai dengan potensi-potensi yang mereka miliki.
Karenanya pola pemberdayaan masyarakat apapun yang kita pilih, maka pola tersebut harus bebas dari perlakuan-perlakuan diskriminasi, prejudice, dan subjektif terhadap masyarakat. Pendapat ini sesuai dengan core idea dari pembangunan/pemberdayaan masyarakat yang berbunyi: "Accept the community as they are" and " Begin the community development work, where the community is" (Burton E. Swanson 1988:25). Terimalah perlakukan masyarakat sebagaimana mereka adanya tanpa membandingkan dengan masyarakat lain, dan mulailah kegiatan pembangunan masyarakat dimana masyarakat berada. Artinya rencana pembanguan harus sesuai dengan permasalahan yang akan dipecahkan, dan kebutuhan mana yang menjadi prioritas dipenuhi sesuai dengan situasi dan kondisi setempat.
3. Pola Pemberdayaan Masyarakat dan tututan 0tonomi Daerah
3.1 Pola Pemberdayaan Masyarakat
Pelaksanaan Otonomi yang dimulai 1 Januari 2001 di seluruh Indonesia merupakan akselerasi reformasi di bidang sistem pemerintahan. Melalui otonomi daerah, pemerintah pusat memberikan wewenang dan tanggung jawab kepada Daerah Tk.II Kabupaten dan Kotamadya. Sesuai dengan situasi dan kondisi yang dimiliki, daerah dapat melaksanakan pemberdayaan masyarakat lebih optimal, terutama untuk merangsang partisipasi aktif masyarakat untuk membangun.
Masalah-masalah pembangunan yang sudah dapat dilaksanakan oleh masyarakat perlu diserahkan kepada masyarakat.
Dengan demikian, hakekat yang terkandung dalam pelaksanaan otonomi daerah, adalah menciptakan masyarakat yang mandiri, partisipatif, dan mampu melaksanakan pembangunan untuk kesejahteraan rakyat.
Di sinilah peranan pendidikan di dalam menciptakan SDM yang berkualitas. Tanpa SDM yang berkualitas, pembangunan dalam konteks otonomi daerah tidak akan berjalan dengan baik.
Pengalaman menunjukkan, KKN subur dan berkembang di Indonesia bersumber dari rendahnya kualitas SDM itu sendiri.
Indonesia memiliki SDA yang kaya dengan kualifikasi mutu SDM rendah, sedangkan Jepang memiliki SDA yang kurang serta tantangan alam yang berat dengan mutu SDM yang tinggi. Ternyata Jepang sudah tergolong negara industri maju dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi di dunia.
SDM yang berkualitas cenderung memiliki perilaku yang baik yaitu di dalam penguasaan ilmu dan teknologi, sikap, moral, budi pekerti, dan keterampilan yang handal untuk melaksanakan pembangunan.
Tentu saja masalah SDM ini belum dapat tersedia pada permulaan pelaksanaan otonomi daerah. Tetapi yang amat penting adalah adanya pengakuan akan pentingnya peranan SDM yang berkualitas serta menempatkan menjadi prioritas utama di dalam perencanaan pembangunan baik pada level nasional maupun regional.
Kita sudah mengetahui bahwa pendidikan bertujuan mengubah perilaku manusia dan pembangunan otonomi daerah merupakan rangkaian kegiatan perubahan berencana untuk mencapai suatu tujuan, yaitu masyarakat yang berswadaya.
Era globalisasi mengharuskan kita untuk efisien, memiliki daya saing yang tinggi, dan profesional. Batas wilayah menjadi semakin semu. Pertimbangan perbandingan (comparative advantage) dikombinasikan dengan pertimbangan keuntungan (compatitive advantage) (Rian Nugroho D:XVIII). Kegiatan yang lebih menguntungkan, lebih banyak memberikan manfaat yang akan menjadi pilihan. Sedangkan upaya untuk menanggulangi adalah mempersiapkan masyarakat agar lebih berdaya, mau bekerja keras, menguasai ilmu dan teknologi, dan sadar akan hak dan kewajibannya sebagai pelaksana pembangunan. Bagi masyarakat yang telah berdaya dan parsitipatif, peran Pemerintah Daerah sebagai pengawal, pendamping, dan fasilitator. Pada masyarakat yang belum mampu memahami hakikat pembangunan, maka campur tangan yang bijaksana perlu dilakukan. Inilah yang disebut dengan pemberdayaan masyarakat dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi daerah.
Pemberdayaan masyarakat akan lebih efektif mencapai tujuan, jika dilakukan secara transparan dan bertanggung jawab sehingga antara masyarakat dan aparat pemerintah tumbuh semangat untuk bekerja sama.
Karena itu, pemerintah daerah melalui aparatnya yang semakin profesional dituntut untuk melaksanakan tanggung jawab pemberdayaan masyarakat, karena mereka adalah orang-orang yang paling memahami potensi wilayah, permasalahan wilayah, aspirasi masyarakat, kemampuan masyarakat, dan sumber-sumber yang dimiliki daearah baik SDM dan SDA-nya.
Dalam kaitan ini, apa peranan pendidikan formal maupun non-formal untuk memberdayakan masyarakat dalam pelaksanaan otonomi daerah? Dapatkah pemberdayaan masyarakat dilaksanakan tanpa melalui pendidikan? Jika dapat bagaimana hasilnya? Dan apakah pembangunan otonomi daerah yang disertai dengan community education itu mampu memberikan hasil yang lebih baik? Secara sederhana, jawaban pertanyaan di atas dapat dijelaskan pada bagan berikut.
Bagan 2. Pendidikan dan pemberdayaan masyarakat.
Melalui pendidikan, masyarakat dibekali pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan, sehingga masyarakat menjadi tahu, mengerti, dapat melakukan dan mau melakukan sesuatu untuk peningkatan kualitas hidup. Perubahan perilaku ini apabila dipadukan dengan sumber daya alam yang tersedia, akan melahirkan perilaku baru yang disebut partisipasi. Partisipasi ini akan merangsang masyarakat lebih aktif dan kreatif malaksanakan pembangunan yang terarah dan berencana terutama dalam meningkatkan pendapatan -income generating- serta membuka lapangan kerja baru -employment generating- untuk perbaikan kualitas hidup masyarakat. Syarat-syarat apa saja yang harus diperhatikan agar masyarakat mau berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan program pembangunan masyarakat desa itu? United Nations (1978:5) mengemukakan:
"People will not participate in community development program unless they are getting what they want. Accordingly, the first duty of those responsble for community development programs to identify the felt needs of the people. They should also assist the people in making better judgments for themselves on what their needs are and how to satisfy them. Finally they should be able to identify needs not yet perceived and make the people concious of them and aware of the importance of satisfying them."
Masyarakat tidak akan mau berpartisipasi di dalam program pembangunan masyarakat, kecuali mereka dapat memperoleh apa yang mereka inginkan. Karena itu, tugas utama dari mereka yang bertanggung jawab di dalam program pembangunan masyarakat ialah mengidentifikasi kebutuhan yang dirasakan masyarakat. Masyarakat juga perlu dibantu untuk mengadakan penilaian yang terbaik bagi mereka, tentang apa yang menjadi kebutuhan mereka termasuk bagaimana menjadikan mereka memperoleh kepuasan. Yang paling penting adalah bagaimana mereka mampu mengidentifikasi kebutuhan yang belum mereka rasakan dan memiliki rasa sadar akan pentingnya rasa kepuasan bagi mereka.
Ross, (1987 : 77-78 ) mengemukakan tiga pola pendekatan pemberdayaan
dalam rangka peningkatan partisipasi masyarakat di dalam pembangunan, yaitu:
(1) The "single function" approach in which programmes or techniques are implanted by external agents -"a new school, a medical program, or a housing project, which the external agent (or the organization he presents) thinks will benefit the community.
(2) The "multiple" approach in which there is recognition of the wholeness of community life and a team of experts seeks to provide a variety of services and to solve some of the problems which may arise as alterations are made in the community.
(3) The "inner resources approach". "Here stress is laid on the need to encourage communities of people to identify their own wants and needs and to work co-operatively with governmental and other agencies at satifying them.
Pola pendekatan pemberdayaan masyarakat The single fungtion adalah program atau teknik pembangunan, keseluruhannya ditanamkan oleh agen pembangunan dari luar masyarakat.
Umumnya pola pendekatan ini kurang mendapat respon dari masyarakat, karena program itu sangat asing bagi mereka sehingga sebagai inovasi yang baik sulit diadopsi. Pola ini menjadikan masyarakat tergantung kepada mereka, sehingga prakarsa masyarakat tidak berkembang.
Demikian juga dengan pola pendekatan The multiple approach, dimana sebuah tim ahli dari luar melaksanakan berbagai pelayanan untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Pola ini, juga tidak mampu memberdayakan masyarakat secara optimum, karena segala sesuatu tergantung pada tim ahli yang datang dari luar.
Pola pendekatan yang paling efektif untuk memberdayakan masyarakat ialah The inner reources approach. Pola ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mampu mengidentifikasi keinginan-keinginan dan kebutuhan- kebutuhannya dan bekerja secara kooperatif dengan pemerintah dan badan-badan lain untuk mencapai kepuasan bagi mereka. Pola ini mendidik masyarakat menjadi concern akan pemenuhan dan pemecahan masalah yang dihadapi dengan menggunakan potensi yang mereka miliki.
4. Kesimpulan
Berdasarkan uraian/pembahasan tentang topik pola pemberdayaan masyarakat melalui aktualisasi ilmu pendidikan untuk meningkatkan partisipasi dalam pembangunan sesuai tuntutan otonomi daerah di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
(1) Krisis multidimensi yang sangat berat yang dihadapi Indonesia sekarang, umumnya bermuara kepada rendahnya kualitas SDM, terutama masyarakat lapisan bawah. Kualitas SDM yang rendah, memiliki implikasi terhadap seluruh sendi kehidupan masyarakat, terutama kemampuan berdemokrasi dan melaksanakan reformasi. Karena itu, upaya-upaya pemberdayaan masyarakat melalui aktualisasi pendidikan perlu mendapat perhatian. Masyarakat bersama-sama elit politik baik pada lembaga eksekutif maupun legislatif perlu melakukan reformasi pendidikan. Pendidikan memegang peranan kunci dalam mencetak SDM yang berkualitas, dan hanya melalui tangan-tangan SDM yang berkualitaslah bangsa dan negara ini mampu memecahkan persoalan, terutama mampu berkompetisi dalam konteks kerjasama dalam era globalisasi.
(2) Pendidikan sebagai human-investment, patut memperoleh alokasi anggaran yang lebih besar di dalam APBN. Di samping untuk keperluan prasarana dan sarana pendidikan yang diperlukan, anggaran yang lebih besar harus mampu memberdayakan guru/tenaga pendidik. Utang luar negeri kurang bermanfaat jika digunakan hanya untuk membangun gedung-gedung yang megah dan proyek-proyek raksasa yang manfaatnya tidak dirasakan mayoritas rakyat Indonesia, tetapi sektor pendidikan terabaikan.
(3) Masyarakat yang berdaya, adalah masyarakat yang dinamis dan aktif berpartisipasi di dalam membangun diri mereka. Tidak menggantungkan hidupnya kepada belas kasihan orang lain. Mereka mampu berkompetisi dalam kontek kerjasama dengan pihak lain. Mereka memiliki pola pikir kosmopolitan, memiliki wawasan berfikir yang luas, cepat mengadopsi inovasi, toleransi tinggi, dan menghindari konflik sosial. Hal ini dapat terwujud berkat aktualisasi pendidikan yang telah membekali mereka dengan perilaku/behavior yang baik dan handal - pengetahuan, sikap dan keterampilan -.
(4) Pelaksanaan otonomi daerah pada daerah Tkt.II merupakan upaya pemberdayaan masyarakat, dimana masyarakat diharapkan dapat dan mampu mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Untuk mencapai taraf ini, perlu dilaksanakan community education secara berkesinambungan. Dengan demikian, implementasi otonomi daerah merupakan suatu janji sekaligus tantangan. Ia menjanjikan masyarakat madani yang bebas, bekerja sama, mampu memerintah diri sendiri, religius, berkeadilan sosial, parsipatif dalam pembangunan, memiliki hak equal opportunity untuk berkarya dan berkembang. Akan tetapi otonomi daerah juga merupakan tantangan bagi masyarakat, karena keberhasilan atau kegagalan dari pelaksanaan otonomi daerah bertumpu pada pundak warga masyarakat. Namun demikian, kita tidak perlu berkecil hati apabila banyak kesulitan yang dihadapi pada fase permulaan. Pepatah klasik mengatakan All the beginning is difficult.
________________________________________
Pustaka Acuan
Aida Vitayala Sjafri Hubeis et all. 1994. Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyongsong Abad XXI. Jakarta: PT.Pustaka Pembangunan.
Burton, E, Swanson, 1984. Agricultural Extension, A Reference Manual. Second Edition, Food and Adriculture Organization of the United Nations, Rome.
Dahama, O.P, dan O.P. Bhatnagar. 1980. Educational and Communication For Development. New Delhi: Oxford & IBH Publishing, Co.
Dunham, Athur. December1956. Outlook for Community Development Review.
Einsiedel, Luz, A, 1968. Success and Failure of some Community Development in Batanggas, A Community Development Research Counsiel Publication, University of the Philippines.
Hill, F.F., 1982. Education in the Developpng Countries International Development Review, 4, No.4.
Margono Slamet, 1978. Penyuluhan Pertanian, Bogor: IPB.
Murray Ross, 1985. Community Organization. New York: Harper and Brother.
Riant Nugroho D, 2000. Otonomi Daerah: Desenteralisasi Tanpa Revolusi Kajian dan Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo.
Tampubolon, D, P, 2001. Perguruan Tinggi Bermutu, Paradigma Baru Manajemen Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abat ke-21. Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
Posted by mirat
on 12.57. Filed under
pendidikan
.
You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0.
Feel free to leave a response