|

Keluarga Sebagai Basis Pendidikan Agama

 Oleh : Istiadah, S.PdI
Dalam Islam juga ada konsep keluarga sakinah yakni keluarga yang tenteram di mana suami-istri dituntut menciptakan kehidupan rumah tangga yang harmoni antara kebutuhan fisik dan psikis. Yang dimaksud psikis adalah menjadikan keluarga sebagai basis pendidikan sekaligus penghayatan agama anggota keluarga.

Mengapa pendidikan agama lebih urgen dilakukan dalam keluarga? Jawabannya terkait kedudukan keyakinan agama dengan fungsi pendidikan formal dan informal. Agama secara teologis adalah seperangkat nilai yang abstrak yang memiliki kebenaran absolut secara akidah (teologis) bagi pemeluknya, sedang bentuk aplikasi dari nilai itu sudah bersifat syariat (dijabarkan lewat fikih) yaitu dengan cara menyusun pemikiran hukum (istinbatu al-ahkam min al adilah) dari teori hukum yang ada (ushul fiqih) yang telah disistematisasi dalam bentuk qawaid al fiqhiyyah.

Dari sini diambil bentuk akhir keputusan hukum keagamaan jika kondisi persyaratan yang melatarbelakanginya mengalami perubahan. Di sinilah letak dinamika pengembangan fikih yang dilakukan dalam Islam dengan metodologi fikih. Dengan demikian implementasi nilai Islam yang abstrak diwujudkan dalam bentuk syariat yang diformulasi dari Al Quran, Sunnah, dan Ijtihad (nalar) ulama. Karena intervensi nalar ini maka dikenal istilah mazhab fikih yakni cara ibadah model imam yang diikuti seperti mengikuti cara syafi'iyah, Malikiyah, Hambaliyah, dan sebagainya.

Kaitannya dengan pendidikan, sebenarnya amat sempit bila pendidikan agama diletakkan dalam pendidikan formal (sekolah), sebab pendidikan formal dibatasi ruang, waktu, kurikulum, target nilai, jenjang, terlebih ada intervensi sistem pendidikan dari luar lembaga pendidikan. Ilmu yang dikaji bersifat terapan, mengedepankan nalar, keberhasilannya diwujudkan dalam kerangka pengembangan pengetahuan yang bersifat praksis seperti teknologi, ekonomi, pranata sosial, dan sebagainya.

Sedang pendidikan agama adalah lebih sakral bersifat sepanjang hidup, yang di dalamnya mencapai target matang (mature) bukan sekadar kaffah (kuantitatif) atau relegiusitas, tetapi kedalaman spiritualitas haqqa (uqatihi). Oleh karena keberagamaan seseorang bersifat spiritualitas, maka menjadi amat privat, pengetahuan yang sama tentang agama antarseseorang belum tentu sama dalam ketakwaan. Di sinilah pendidikan agama menjadi penting diletakkan dalam wilayah yang tidak disekat sistem. Penghayatannya harus paduan antara pengetahuan dan pengalaman. Karena keluarga sebagai basis interaksi secara utuh dalam keseharian seseorang, maka amat tepat pendidikan agama dipercayakan kepada keluarga seperti disebutkan dalam hadis Nabi.

DEFORMALISASI pendidikan agama sebenarnya telah lama ada di dunia pendidikan Islam dan hingga kini masih berjalan. Saya yang dibesarkan dari keluarga pesantren dan sempat hidup di beberapa pesantren merasakan, pendidikan agama yang tepat adalah lewat institusi nonformal semacam pesantren tradisional (salaf) yang pendidikannya tidak tersekat oleh sistem yang terintervensi luar, tetapi mandiri dan bersifat kondisional. Karena itu, tidak aneh antara pesantren selalu berbeda dalam pola pendidikan karena otoritasnya ada pada masing-masing kiai pengasuh dan titik tekannya bukan nilai atau jenjang waktu, tetapi kedalaman spiritualitas.

Tentang ini saya dapatkan dari hasil penelitian tesis saya (2003), pesantren tidak mementingkan sistem kurikulum. Salah satu hasil penelitian saya adalah sistem pendidikan di pesantren tidak berpedoman pada sistem pendidikan yang dipegang ahli pendidikan, tetapi tergantung kiai. Bagi kiai pendidikan yang penting intensitas bukan sistem. Sebab, bila mengacu pada kurikulum, acapkali mengalami kemandekan.

Berdasar pengalaman, ayah saya pengasuh pesantren dengan sistem salaf, dan selalu berpesan kepada orangtua yang datang menyerahkan anaknya ke pesantren: "Di pesantren ini hanya dididik bagaimana menghayati agama; untuk mendapat pengetahuan umum, santri harus sekolah di luar, pengetahuan agama akan dipenuhi dari pesantren ini." Jadi, santri hanya belajar agama sore dan malam hari, siang hari mereka sekolah di luar sesuai yang diminati seperti SLTP, MTs, SMU, SMK, Madrasah Aliyah, dan sebagainya.

Pilihan orangtua memondokan anaknya ke pesantren merupakan pilihan privasi dari tanggung jawab keluarga dipercayakan kepada pesantren. Bisa orangtua mengajarkan agama anak-anaknya lewat taman pendidikan Al Quran (TPA) di masjid-masjid waktu sore hari, mendatangkan guru privat ke rumah atau mengikuti pengajian remaja di masjid.

AKTIVITAS ritual agama dalam konteks keumatan di Indonesia menunjukkan gairah luar biasa; demikian juga penggunaan agama dalam konteks kehidupan berbangsa, acapkali agama bisa menjadikan inspirasi bahkan legitimasi positif bagi sebuah program pemerintah. Di sisi lain, agama juga menanggung beban berat saat ia ditempatkan sebagai alat propaganda. Pada posisi seperti ini agama sebagai obyek penderita segala kepentingan.

Tulisan ini tidak membahas pro-kontra atas RUU Sisdiknas, namun lebih kepada bagaimana agama bisa menumbuhkan daya kritis terhadap persoalan yang berkembang dalam konteks kebangsaan dan bisa menjadi inspirasi bagi tumbuhnya kesadaran pluralisme di Indonesia.

Kenapa sampai terjadi reduksi nilai-nilai agama? Pertama, kuatnya belenggu dogma agama dan tradisi keberagamaan. Secara tidak sadar telah terjadi berbagai pemahaman yang distortif mengenai ajaran dan fungsi agama, sehingga tidak bisa membedakan mana dogma dan mana pemikiran terhadap dogma. Akibatnya, agama menjadi kering dan kaku, bahkan tidak jarang menjadi penghalang bagi kemajuan dan upaya penegakan nilai kemanusiaan. Dalam upaya mengembalikan fungsi dan ajaran agama, maka diperlukan rekonstruksi pemahaman keagamaan.

Kedua, telah terjadi reduksi nilai universalitas agama oleh agamawan, dengan model tafsir tunggal kebenaran. Para agamawan kebanyakan melakukan hermeunetisasi dogma agama dilandasi kepentingan aliran yang dianutnya. Kita ketahui ormas keagamaan dalam menjalankan gerakannya mau tidak mau berinteraksi dengan kekuatan lain. Dalam konteks interdependensi inilah sebuah lembaga melakukan manifestasi eksistensi kelompoknya, termasuk dengan kelompok seagamanya namun beda aliran.

Yang mengkhawatirkan dari reduksi universalitas agama mengakibatkan agama tersekat dalam tempurung sempit dan mewujudkan angan-angan tersendiri bagai pengikutnya bisa dalam bentuk fanatisme sempit yang tidak rasional; bahkan menimbulkan ketakutan terhadap agama atau kelompok lain. Munculnya kecemasan yang berdimensi agama bisa diindikasikan kuatnya faktor ini, di samping faktor ketiga.

Ketiga, selama ini telah terjadi politisasi agama, sensitivitas agama pada umat menjadi situasi di bawah sadar, pluralitas seakan menjadi barang haram bagi sebagian orang. Runyamnya, "angan-angan ketakutan ini" mewujud dalam intervensi di berbagai sektor. Bahkan, menyampingkan hal-hal problem substansial yang ada. Pembebasan pendidikan agama dari ruang sempit harus dimulai dari wilayah yang paling basis yakni keluarga; meletakkan pendidikan agama dalam keluarga sesungguhnya bukan menyekat tetapi meletakkannya sebebas mungkin. Sebaliknya, ia menjadi terkungkung manakala dikurung sistem, aturan, kurikulum, modul, jenjang, dan hasil matematis yang dibanggakan dalam angka di buku rapor yang diterima murid per semester.

Posted by mirat on 11.18. Filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

0 komentar for "Keluarga Sebagai Basis Pendidikan Agama"

Leave a reply

hi semuanya.....
terima kasih telah membaca artikel saya
saya harap anda memberikan komentar tentang artikel ku ini

Blog Archive

Photobucket
English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
widgets by : Blog Pendidikan

Recently Added